Selasa, 29 Oktober 2013
DISUSUN OLEH:
WILDAN
MUHTADIN
NIM:
02213018
SEKOLAH TINGGI
SAINS DAN TEKNOLOGI INDONESIA
PROGRAM STUDI
2013/2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan
kepada Allah SWT, Pencipta danPemelihara alam semesta ini, atas karunianya kami
dapat menyelesaikan MakalahAgama yang
berjudul Syariah, Ibadah, dan Muamalah. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan bagi nabi Muhammad SAW, keluarga dan para pengikutnya yang
setia hingga akhir zaman termasuk kita semua.
Makalah ini kami susun
sebagai bahan diskusi bagi mahasiswa dan diharapkan dengan disusunnya makalah
ini akan menjadi acuan untuk mendukung proses pembelajaran Agama Islam
secara sederhana dan mengena padapermasalahan
yang ada di masyarakat.
Disadari sepenuhnya masih banyak
kekurangan dalam pembahasanmakalah ini dari teknis penulisan sampai dengan
pembahasan materi untuk itubesar harapan
kami akan saran dan masukan yang sifatnya mendukung untuk perbaikan ke
depannya.
Tidak lupa kami ucapkan banyak terima
kasih kepada Dosen pembimbing pada mata kuliah pendidikan Agama Islam yang
telah memberi arahan untuk membuat Makalah ini dan tidak lupa untuk rekan
rekan mahasiswa Teknik Arsitektur kami ucapkan terima kasih semoga apa yang saya susun bermanfaat.
Bandung, oktober 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan
manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah SWT. Dengan segala pemberian-Nya
manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya. Tapi
dengan anugerah tersebut kadangkala manusia lupa akan dzat Allah SWT yang telah
memberikannya. Untuk hal tersebut manusia harus mendapatkan suatu bimbingan
sehingga di dalam kehidupannya dapat berbuat sesuai dengan bimbingan Allah SWT.
Hidup yang dibimbing syariah akan melahirkan kesadaran untuk berprilaku yang
sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasulnya yang tergambar dalam
hukum Allah yang Normatif dan Deskriptif (Quraniyah dan Kauniyah).
Sebagian
dari syariat terdapat aturan tentang ibadah, baik ibadah khusus maupun ibadah
umum. Sumber syariat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan hal-hal yang
belum diatur secara pasti di dalam kedua sumber tersebut digunakan ra’yu
(Ijtihad). Syariat dapat dilaksanakan apabila pada diri seseorang telah
tertanam Aqidah atau keimanan. Semoga dengan bimbingan syariah hidup kita akan
selamat dunia dan akhirat.
B.Rumusan Masalah
A. Apakah yang dimaksud dengan Syariah
B. Apakah yang dimaksud dengan ibadah
C. Apakah yang dimaksud dengan
Muamalah
C.Tujuan
1.Tujuan
umum
Secara umum pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami Hukum Islam tentang Muamalah
Secara umum pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami Hukum Islam tentang Muamalah
2.Tujuan khusus
Tujuan khusus pembuatan makalah ini yaitu untuk mengikuti prosedur pengajaran dalam mata pelajaran Agama Islam .
D.Manfaat
Menambah pengetahuan Hukum Islam tentang Syariah,Muamalah
dan Ibadah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syariah
Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah
dan Rasulnya yang merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan
hubungan vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesame manusia.
Ada dua pendekatan dalam mendefinisikan Syari’ah,
yaitu antara lain:
Dari segi tujuan, Syari’ah memiliki pengertian ajaran yang menjaga
kehormatan manusia sebagai makhluk termulia dengan memelihara atau menjamin
lima hal penting, yaitu:
a) Menjamin kebebasan beragama (Berketuhanan Yang Maha
Esa)
b) Menjamin kehiupan yang layak (memelihara jiwa)
c) Menjamin kelangsungan hidup keluarga (menjaga
keturunan)
d) Menjamin kebebasan berpikir (memelihara akal)
e) Menjamin kehidupan dengan tersedianya lapangan kerja
yang pantas (memelihara harta)
Lima hal pemeliharaan itu akan menjadi ukuran dari
lima hukum Islam, seperti wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah.
Ditinjau dari segi klasifikasi.
Untuk memahami hal ini, ada baiknya terlebih dahulu
kita mengetahui arti dari Ibadah dan Muamalah itu sendiri. Ibadah.
Berikut di bawah ini adalah pengertian dari Ibadah, menurut Ustadz Yazid
bin Abdul Qadir Jawas.
B. Ruang Lingkup Syariah
Ruang lingkup syariah lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :
1. Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT (ritual), yang terdiri dari :
a. Rukun Islam : mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan haji.
b. Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rumun Islam.
1. Badani (bersifat fisik) : bersuci meliputi wudlu, mandi, tayamum, pengaturan menghilangkan najis, peraturan air, istinja, adzan, qomat, I’tikaf, do’a, sholawat, umroh, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan mayit, dan lain-lain.
2. Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain.
2. Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam hal tukar-menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain.
3. Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak, pergaulan suami istri, mas kawin, berkabung dari suami yang wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam walimah, wasiyat, dan lain-lain.
4. Jinayat, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat, pembunuhan, zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian dan lain-lain.
5. Siyasa, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya : ukhuwa (persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong menolong), tasamu (toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab sosial), zi’amah (kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain.
6. Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu, (rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani), birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.
7. Peraturan-peraturan lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang, dan lain-lain.
C. Sumber-Sumber Syariah
1. Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.
2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Ra’yu (Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menetapkan hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ruang lingkup syariah lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :
1. Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT (ritual), yang terdiri dari :
a. Rukun Islam : mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan haji.
b. Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rumun Islam.
1. Badani (bersifat fisik) : bersuci meliputi wudlu, mandi, tayamum, pengaturan menghilangkan najis, peraturan air, istinja, adzan, qomat, I’tikaf, do’a, sholawat, umroh, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan mayit, dan lain-lain.
2. Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain.
2. Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam hal tukar-menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain.
3. Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak, pergaulan suami istri, mas kawin, berkabung dari suami yang wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam walimah, wasiyat, dan lain-lain.
4. Jinayat, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat, pembunuhan, zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian dan lain-lain.
5. Siyasa, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya : ukhuwa (persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong menolong), tasamu (toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab sosial), zi’amah (kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain.
6. Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu, (rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani), birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.
7. Peraturan-peraturan lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang, dan lain-lain.
C. Sumber-Sumber Syariah
1. Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.
2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Ra’yu (Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menetapkan hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
B.Ibadah
Ibadah secara bahasa
(etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’
(terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya
satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada
Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah
Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa
mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh
apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau
perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.
Ibadah inilah yang menjadi
tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki
rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi
makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58].
Allah
SWT. memberitahukan hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka agar
mereka melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.dan Allah SWT. Maha Kaya, tidak
membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi mereka yang membutukan-Nya. Karena
ketergantungan mereka kepada Allah SWT. maka mereka menyembah-Nya sesuai aturan
syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak ibadah kepada Allah SWT. ia adalah
sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan
maka ia adalah mubtadi (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan
dengan syari’at-Nya, maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
Ibadah
itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut),
raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakal (ketergantungan), raghbah
(senang), dan rahbah (takut) adalah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati).
Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik
dan hati).
C.
Muamalah
Secara Etiomologi Muamalah
berasal dari kata (العمل) yang merupakan istilah yang digunakan untuk mengungkapkan semua
perbuatan yang dikehendaki mukallaf. muamalah mengikuti pola (مُفَاعَلَة) yang bermakna bergaul (التَّعَامُل).
Secara Terminologi
Muamalah adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain ibadah.
Menurut fiqih, muamalah ialah tukar menukar
barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang
termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli, sewa menyewa, upah mengupah,
pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat dan lain-lain.
Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran Al-Qur’an
dan Al-Sunnah, yaitu harus ada contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad
SAW. Konsep ibadah ini berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang atas haram). Ibadah
ini antara lain meliputi shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan masalah
mu’amalah (hubungan kita dengan sesame manusia dan lingkungan), masalah-masalah
dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuan
dan teknologi, berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada
larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya.
Berkaitan dengan hal di atas (mu’amalah), Nabi
Muhammad SAW mengatakan:
“Bila dalam urusan agama (aqidah dan ibadah) Anda contohlah saya. Tapi,
dalam urusan dunia Anda, (teknis mu’amalah), Anda lebih tahu tentang dunia
Anda.”
Dalam ibadah, sangat penting untuk diketahui apakah
ada suruhan atau contoh tatacara, atau aturan yang pernah diajarkan oleh
Rasulullah SAW. Apabila hal itu tidak ada, maka tindakan yang kita lakukan
dalam ibadah itu akan jatuh kepada bid’ah, dan setiap
perbuatan bid’ah adalah dhalalah (sesat).
Sebaliknya dalam mu’amalah yang harus dan penting untuk
diketahui adalah apakah ada larangan tegas dari Allah dan Rasul-Nya, karena
apabila tidak ada, hal tersebut boleh saja dilakukan.
Dalam hal ini, Dr. Kaelany juga menjelaskan adanya dua
prinsip yang perlu kita perhatikan, yaitu:
Pertama: Manusia dilarang “menciptakan agama, termasuk system ibadah dan
tata caranya, karena masalah agama dan ibadah adalah hak mutlak Allah dan para
Rasul-Nya yang ditugasi menyampaikan agama itu kepada masyarakat. Maka
menciptakan agama dan ibadah adalah bid’ah. Sedang setiap bid’ah adalah sesat.
Kedua: Adanya kebebasan dasar dalam menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan masalah mu’amalah, seperti pergaulan hidup dan kehidupan dalam
masyarakat dan lingkungan, yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia (Bani
Adam) dengan batasan atau larangan tertentu yang harus dijaga. Sebaliknya
melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah.
Dalam menjalankan keseharian, penting bagi kita untuk
mengingat dua prinsip di atas. Ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak
hati kita karena semua ketentuan dan aturan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW
semasa hidupnya. Melakukan sesuatu dalam ibadah, yang tidak ada disebutkan
dalam Al-Qur’an dan Sunnah berarti melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan
oleh Allah SWT, dan ini sungguh merupakan perbuatan yang sesat.
Namun dalam beberapa hal, tentu ada hal yang harus
diperhatikan sesuai dengan perkembangan zaman. Di sini lah implikasi dari mu’amaah itu
sendiri. Selama tidak ada larangan secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah,
hal yang dipertimbangkan itu boleh dilakukan. Hal ini telah diterangkan oleh
Rasul dalam sabdanya yang sudah ditulis di atas. Sebagai contoh adalah dalam
kehidupan sehari-hari, pada zaman hidupnya Rasulullah, masyarakat yang
mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan binatang Unta
sebagai kendaraan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin sama dalam kehidupan zaman
modern ini. Dan karenanya, menggunakan kendaraan bermotor diperbolehkan karena
tidak ada larangan dari Allah dan Rasul-Nya (tidak tertera larangan yang tegas
dalam Al-Qur’an dan Sunnah).
Syariat Islam adalah ajaran islam yang
membicarakanamal manusia baik sebagai makluk ciptaan Allah
maupun hamba Allah.
Terkait dengan susunan tertib Syari’at, Al Quran Surat
Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah
memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil
ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika
terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan
ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu.
Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang
menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah
dimaafkanAllah.
D.
Macam –
macam Ibadah dan Mu’amalah
Persamaan
pengertian muamalah dalam arti sempit dengan muamalah dalam arti luas ialah
sama sama mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitan dengan
pengaturan harta.
Pembagian Muamalah
Menurut
Ibn Abidin, fiqh muamarah terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
a. Mu'awadlah Matiyah (Hukum
Kebendaan),
b. Munakahat (Hukum
Perkawinan),
c. Muhasanat (Hukum Acara),
d. Amanat dan ‘Aryah
(pinjaman),
e. Tirkah (Harta
Peninggalan).
Ibn Abidin adalah salah
seorang yang mendefinisikan muamalah secara luas sehingga munakahat termasuk
salah satu bagian fiqh muamalah, padahal munakahat diatur dalam disiplin ilmu
tersendiri, yaitu fiqh munakahat.
E.
Perkara yang Dihadapi Umat Islam
Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam
menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan
dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam
kategori Asas Syara’ dan perkara yang masuk dalam kategori Furu’ Syara’.
1. Asas Syara’
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya
dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagaiPokok Syari’at
Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara’ dan Al Hadits itu Asas Kedua
Syara’. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan
Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islamtidak mentaati syari’at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari’at yang berlaku.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islamtidak mentaati syari’at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari’at yang berlaku.
2. Furu’ Syara’
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist.Kedudukannya sebaga Cabang
Syari’at Islam.Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat
Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu’ syara’ ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu’ syara’ ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
F.
Filsafat Ibadah dan Muamalah
Pendahuluan Tujuan penciptaan manusia dan jin hanya
tiada lain adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Penciptaan itu bukan
sekedar main-main atau hal yang percuma. Di balik penciptaan itu, Allah SWT
mempunyai rencana yang sungguh-sungguh. Setiap makhluk diberi kesempatan untuk
berkembang maju ke arah suatu tujuan itu, yaitu keridhaan-Nya. Allah SWT adalah
sumber dan pusat segala kekuasaan dan kesempurnaan. Kemajuan yang kita capai
tergantung kepada cara kita mendapatkan diri sesuai dengan kehendak-Nya. Inilah
sebaik-baik ibadah kita kepada-Nya. Gambaran tentang kemampuan syari'at
Islam dalam menjawab segala persoalan modern dapat diketahui dengan
mengemukakan beberapa prinsip syari'at Islam mengenai tatanan hidup secara
vertikal (antara manusia dengan Tuhannya) dan secara horizontal (antara sesama
manusia). kebanyakan ahli fiqh teah menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala
sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu'amalat)
adalah boleh, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu
dilarang. Kaidah di atas berlawanan dengan kaidah hukum dalam bidang ibadah.
Dalam bidang ibadah, syari'at Islam menetapkan sendiri garis-garisnya.
Di sini dikemukakan nash yang tidak dapat ditafsirkan
lain, sehingga terjaga dari kesimpangsiuran. Dalam bidang yang disebut terakhir
ini terdapat kaidah bahwa ibadah tidak dapat dilakukan kecuali apabila ada
dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu telah diperintahkan oleh Allah SWT dan
atau dicontohkan oleh Rasulullah. Sebagaimana yang dikatakan oleh imam
al-Syathibi, ibadah memiliki maksud asli dan maksud sekunder, maksud asli
adalah semata-mata menuju Allah SWT dengan tujuan tunduk, taat, mencintai dan menuju
kepada Allah SWT dalam setiap kondisi, kemudian diikuti dengan bukti berupa
beribadah untuk mendapatkan derajat di akhirat atau menjadi kekasih Allah SWT
dan lain-lain. Sedangkan maksud sekunder dalam ibadah adalah seperti meluruskan
diri dan mendapatkan keutamaan. Apabila makna-makna ibadah yang diberikan oleh
masing-masing ahli ilmu diperhatikan baik, nyatalah bahwa takrif yang diberikan
oleh suatu golongan berpaut untuk menyempurnakannya dengan takrif yang
diberikan oleh golongan yang lain.
Jelasnya, tidaklah dipandang seorang mukallaf telah
beribadah (sempurna ibadahnya) kalau ia hanya mengerjakan ibadah-ibadah dalam
pengertian fuqaha, atau ahli ushul saja. Di samping ia beribadah dengan ibadah
yang dimaksudkan oleh ahli tauhid, ahli hadits dan ahli tafsir. Dan perlu pula
ia beribadah dengan yang dimaksudkan oleh ahli akhlak, yaitu memperbaiki budi
pekerti. Maka apabila pengertian-pengertian tersebut telah menyatu, barulah
terdapat hakikat ibadah dan ruhnya : barulah rangka ibadahnya mempunyai motor yang
menggerakkan. Al-Qur'an dan Al-Sunnah yang menjadi sumber dan pedoman bagi umat
untuk beribadah mengandung ajaran-ajaran yang oleh Mahmud Syaltut dibagi kepada
dua bagian, yaitu : ajaran tentang akidah dan ajaran tentang syari'ah, kemudian
syari'ah itu sendiri terdiri atas ibadah dan mu'amalah.
Ajaran tentang akidah berkaitan dengan persoalan
keimanan dan keyakinan seseorang terhadap eksistensi Allah SWT, para malaikat,
Rasul, kitab suci yang diturunkan Allah SWT, tentang hari akhirat, dan lain
sebagainya. Ajaran tentang akidah bersifat permanen, pasti dan tidak berubah
disebabkan terjadinya perubahan sosial-kultural Ajaran tentang ibadah berkaitan
dengan persoalan-persoalan pengabdian kepada Allah SWT dalam bentuk-bentuk yang
khusus seperti shalat, puasa, haji, zakat dan sebagainya. Ajaran tentang ibadah
ini bersifat permanen dan ditetapkan secara rinci baik oleh Al-Qur'an maupun
oleh Al-Sunnah, sikap seorang Muslim dalam persoalan ibadah adalah
melaksanakannya sesuai dengan petunjuk dalil yang ada dalam Al-Qur'an yang
dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sunahnya. Ajaran tentang mu'amalah
berkaitan dengan persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia dalam
memenuhi kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan
prinsip-prinsip yang dikandung oleh Al-Qur'an dan Al-Sunnah, itulah sebabnya
bahwa bidang muamalah tidak bisa dipisahkan sama sekali dengan nilai-nilai
ketuhanan.
Dengan demikian, akidah, ibadah, muamalah merupakan
tiga rangkaian yang sama sekali tidak bisa dipisahkan. Al-Syatibi mencoba
mengembangkan lebih lanjut prinsip-prinsip di atas, ia sebagaimana ahli fiqh
lainnya, membedakan materi hukum Islam menjadi dua bagian, bagian pertama,
materi hukum Islam yang menyangkut ibadah daan bagian kedua materi hukum Islam
yang menyangkut muamalah (adat). Ia secara filosofis telah merumuskan kaidah
sebagai berikut : "Prinsip dalam persoalan ibadat bagi mukallaf adalah
ta'abbud tanpa perlu melihat kepada nilai atau hikmah, sedangkan prinsip dalam
persoalan adat (muamalat) adalah melihat kepada nilai atau hikmah" Perlu
segera ditambahkan, bahwa Al-Syatibi sendiri mengakui adanya beberapa bentuk
muamalat yang mempunyai nilai ta'abbudi.
Kelihatannya yang dimaksud dengan ta'abbudi di sini
adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil yang terperinci. Berdasarkan
prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi, dalam arti meliputi segala
macam bentuk muamalat, diizinkan oleh syari'at Islam, selama tidak bertentangan
dengan prinsip dan jiwa syari'at Islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan
dan kebutuhan manusia selalu berkembang dan berubah, syari'at dalam bidang
muamalat, pada umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara
umum. Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimana pun mereka
berada.
Tentu prinsip dan jiwa syari'at Islam. Dapat dikatakan
bahwa jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstant, permanen dan stabil,
tidak berubah sepanjang masa, betapa pun kemajuan peradaban manusia. Sementara
itu peristiwa hukum, teknis, dan cabang-cabang mengalami perubahan, berkembang
sejalan dengan perkembangan zaman. Dengan tetap teguhnya jiwa dan prinsip
hukum, dibarengi oleh terbuka lebarnya perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan
secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh norma hukum yang ketat dan kuat.
Dengan adanya perubahan dan perkembangan masyarakat,
cabang-cabang hukum Islam di bidang muamalat semakin bertambah materi hukumnya,
semakin banyak perbedaannya dan semakin sempurna pembahasannya. Berbeda dengan
bidang muamalat, hukum Islam dalam bidangibadah mahdah tidak terbuka
kemungkinan adanya modernisasi, melainkan materinya harus berorientasi kepada
nash Al-Qur'an dan Hadits yang mengatur secara jelas tentang tata cara
pelaksanaan ibadah tersebut. Namun demikian, modernisasi dalam bidang sarana
dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan.
BAB III
KESIMPULAN
Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah
dan Rasulnya yang merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan
hubungan vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesame manusia.
Muamalah adalah Hukum Islam yang
berkaitan dengan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang
dengan orang lain , atau antara seseorang dengan badan hukum , atau antara
badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lainnya .
Semoga Ibadah yang kita perbuat dapat merendahkan diri
kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai
dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
Ibadah adalah sebutan
yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik
berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.
Syariah Islam
memberikan tuntunan hidup khususnya pada umat Islam dan umumnya pada seluruh
umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Muamalah dalam
syariah Islam bersifat fleksibel tidak kaku. Dengan demikian Syariah Islam
dapat terus menerus memberikan dasar spiritual bagi umat Islam dalam
menyongsong setiap perubahan yang terjadi di masyarakat dalam semua aspek
kehidupan.
Syariah Islam dalam muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat bagi semua pihak, menghindari saling merugikan, mencegah perselisihan dan kesewenangan dari pihak yang kuat atas pihak-pihak yang lemah. Dengan dikembangkannya muamalah berdasarkan syariah Islam akan lahir masyarakat marhamah, yaitu masyarakat yang penuh rahmat.
Syariah Islam dalam muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat bagi semua pihak, menghindari saling merugikan, mencegah perselisihan dan kesewenangan dari pihak yang kuat atas pihak-pihak yang lemah. Dengan dikembangkannya muamalah berdasarkan syariah Islam akan lahir masyarakat marhamah, yaitu masyarakat yang penuh rahmat.
DAFTAR PUSTAKA
- Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fakta Keagungan Syari'at Islam,
Tintamas, Jakarta, 1992 - Harun Nasution "Dasar Pemikiran Pembaharuan
dalam Islam", Pustaka Pajimas, Jakarta, 1985. - Prof. T. M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000 - DR. H.
Fathurrahman Djamil, MA, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1999 - Yusuf
al-Qardhawi, Fiqh Maqashid Syari'ah, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2007 - DR. H.
Nasruh Haroen, MA, Fiqh Mua'malah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000 .
www.2012/08/makalah-hukum-islam-tentang-muamalah.html
Langganan:
Postingan (Atom)